Kamis, 04 Maret 2010

PERENCANAAN

Setiap organisasi perlu melakukan suatu perencanaan dalam setiap kegiatan organisasinya, baik perencanaan produksi, perencanaan rekrutmen karyawan baru, program penjualan produk baru, maupun perencanaan anggarannya. Perencanaan (planning) merupakan proses dasar bagi organisasi untuk memilih sasaran dan menetapkan bagaimana cara mencapainya. Oleh karena itu, perusahaan harus menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai sebelum melakukan proses-proses perencanaan.
Perencanaan merupakan tahapan paling penting dari suatu fungsi manajemen, terutama dalam menghadapi lingkungan eksternal yang berubah dinamis. Dalam era globalisasi ini, perencanaan harus lebih mengandalkan prosedur yang rasional dan sistematis dan bukan hanya pada intuisi dan firasat (dugaan).
Pokok pembahasan pada modul ini berfokus pada elemen-elemen tertentu dari proses perencanaan dan proses yang sangat berhubungan dengan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Kemudian memperkenalkan konsep perencanaan dan menyajikan sejumlah pendekatan untuk mengefektifkan perencanaan dari berbagai jenis.



PROSES PERENCANAAN

Sebelum para manajer dapat mengorganisasi, memimpin, atau mengendalikan, terlebih dahulu mereka harus membuat rencana yang memberikan arah pada setiap kegiatan organisasi. Pada tahap perencanaan para manajer menentukan apa yang akan dikerjakan, kapan akan mengerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan siapa yang akan mengerjakannya.
Kebutuhan akan perencanaan ada pada semua tingkatan manajemen dan semakin meningkat pada tingkatan manajemen yang lebih tinggi, dimana perencanaan itu mempunyai kemungkinan dampak yang paling besar pada keberhasilan organisasi. Pada tingkatan top manajer pada umumnya mencurahkan hampir semua waktu perencanaannya jauh ke masa depan dan pada strategi-strategi dari seluruh organisasi. Manajer pada tingkatan yang lebih rendah merencanakan terutama untuk subunit mereka sendiri dan untuk jangka waktu yang lebih pendek.

Terdapat pula beberapa variasi dalam tanggung jawab perencanaan yang tergantung pada ukuran dan tujuan organisasi dan pada fungsi atau kegiatan khusus manajer. Organisasi yang besar dan berskala internasional lebih menaruh perhatian pada perencanaan jangka panjang daripada perusahaan lokal. Akan tetapi pada umumnya organisasi perlu mempertimbangkan keseimbangan antara perencanaan jangka panjang maupun perencanaan jangka pendek. Karena itu penting bagi para manejer untuk mengerti peranan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang dalam pola perencanaan secara keseluruhan.



Menurut T. Hani Handoko (1999) kegiatan perencanaan pada dasarnya melalui empat tahap sebagai berikut:
1. Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan.
2. Merumuskan keadaan saat ini
3. Mengidentifikasikan segala kemudahan dan hambatan
4. Mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan


ALASAN PERLUNYA PERENCANAAN
Salah satu maksud dibuat perencanaan adalah melihat program-program yang dipergunakan untuk meningkatkan kemungkinan pencapaian tujuan-tujuan di waktu yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan pengambilan keputusan yang lebih baik. Oleh karena itu, perencanaan organisasi harus aktif, dinamis, berkesinambungan dan kreatif, sehingga manajemen tidak hanya bereaksi terhadap lingkungannya, tapi lebih menjadi peserta aktif dalam dunia usaha.



Ada dua alasan dasar perlunya perencanaan:
1. untuk mencapai “protective benefits” yang dihasilkan dari pengurangan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan
2. untuk mencapai “positive benefits” dalam bentuk meningkatnya sukses pencapaian tujuan organisasi.
Beberapa manfaat perencanaan adalah:
1. membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan
2. memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran operasi lebih jelas
3. membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat
4. memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi
5. memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi
6. membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami
7. meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti
8. menghemat waktu, usaha, dan dana



Beberapa kelemahan perencanaan adalah:
1. pekerjaan yang tercakup dalam perencanaan mungkin berlebihan pada kontribusi nyata
2. perencanaan cenderung menunda kegiatan
3. perencanaan mungkin terlalu membatasi manajemen untuk berinisiatif dan berinovasi
4. kadang-kadang hasil yang paling baik didapatkan oleh penanganan setiap masalah pada saat masalah tersebut terjadi.
5. ada beberapa rencana yang diikuti cara-cara yang tidak konsisten



HUBUNGAN PERENCANAAN DENGAN FUNGSI LAIN
Perencanaan adalah fungsi yang paling dasar dari fungsi manajemen lainnya. Fungsi perencanaan dan fungsi-fungsi serta kegiatan manajerial lainnya adalah saling berhubungan, saling tergantung, dan berinteraksi.
Pengorganisasian (Organizing). Perencanaan menunjukkan cara dan perkiraan bagaimana mengorganisasikan sumber daya-sumber daya organisasi untuk mencapai efektivitas paling tinggi.

Pengarahan (directing). Perencanaan menentukan kombinasi paling baik dari sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengarahkan, mempengaruhi dan memotivasi karyawan.

Pengawasan (controlling). Perencanaan dan pengawasan saling berhubungan erat. Pengawasan bertindak sebagai criteria penilaian pelaksanaan kerja terhadap rencana.


RENCANA OPERASIONAL
Terdapat dua jenis utama dari rencana yaitu rencana strategis dan rencana operasional. Rencana strategis merupakan rencana yang dirancang untuk mencapai tujuan yang luas dari perusahaan yaitu untuk melaksanakan tugas-tugas perusahaan. Sedangkan rencana operasional merupakan rencana yang memberikan rincian tentang bagaimana rencana strategis itu akan dilaksanakan.
Rencana operasional terdiri dari:
1. Rencana sekali-pakai (single-use plans), dikembangkan untuk mencapai tujuan khusus dan dibubarkan bila rencana ini telah selesai dilaksanakan
2. Rencana tetap (standing plans), merupakan pendekatan yang telah dibakukan untuk menangani situasi yang berulang kali terjadi dan yang dapat dengan mudah diantisipasi



PERENCANAAN STRATEGIK
Perencanaan strategic (strategic planning) adalah proses pemilihan tujuan-tujuan organisasi, penentuan strategi, program-program strategi, dan penetapan metoda-metoda yang diperlukan untuk menjamin bahwa strategi dan kebijaksanaan telah diimplementasikan. Perencanaan strategi juga merupakan proses perencanaan jangka panjang yang disusun untuk mencapai tujuan organisasi.
Ada tiga alasan yang menunjukkan pentingnya perencanaan strategis. Pertama, perencanaan strategis memberikan kerangka dasar bagi perencanaan-perencanaan lainnya. Kedua, pemahaman terhadap perencanaan strategis akan mempermudah pemahaman bentuk perencanaan lainnya. Ketiga, perencanaan strategis merupakan titik permulaan bagi penilaian kegiatan manajer dan organisasi.
MENGATASI HAMBATAN PERENCANAAN EFEKTIF
Ada dua jenis hambatan terhadap pengembangan rencana yang efektif, yaitu, pertama adalah perlawanan atau penolakan internal para calon perencana terhadap penetapan sasaran dan pembuatan rencana untuk mencapainya. Hambatan kedua adalah keengganan para anggota organisasi untuk menerima perencanaan dan rencana yang akan menyebabkan perubahan.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan terhadap perencanaan yang efektif para manajer harus membantu bawahan dengan sebaik-baiknya dengan menciptakan system organisasi yang mempermudah penetapan sasaran dan bukan yang menghambatnya.

Membantu individu menetapkan sasaran. Para manajer yang tidak memiliki pengetahuan tentang organisasi atau lingkungan eksternalnya, memerlukan bantuan dalam mengembangkan sistem informasi yang baik. Bantuan dapat berupa program pengembangan manajemen dalam perusahaan untuk membantu dalam mengadakan hubungan informal dengan orang-orang dari berbagai departemen, divisi, dan lokasi. Bilamana perencanaan merupakan proses yang dipahami dengan baik, maka akan lebih mudah bagi tiap individu untuk pengembangan rencana guna mencapai sasaran tersebut.

Mengatasi perlawanan terhadap perubahan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara melibatkan para karyawan yang akan terkena pengaruh dalam proses perencanaan. Kemudian dengan memberikan lebih banyak informasi kepada para karyawan tentang rencana dan kemungkinan akibat-akibatnya. Selain itu juga, dengan menyadari dampak dari perubahan-perubahan yang diusulkan terhadap para anggota organisasi dan memperkecil gangguan yang tidak perlu.

Management by Objectives (MBO)
Istilah Management by Objectives (MBO) atau manajemen berdasarkan sasaran diperkenalkan oleh Peter Drucker pada tahun 1954 dalam bukunya ‘The Practice of Management’. MBO mengacu kepada seperangkat prosedur yang formal yang dimulai dengan penetapan sasaran dan dilanjutkan sampai peninjauan kembali hasil pelaksanaannya. Kunci MBO adalah MBO merupakan proses partisipasi atau peran serta, yaitu secara aktif melibatkan para manajer dan anggota staf pada setiap tingkat organisasi.

Dalam bukunya ‘The Practice of Management’, Peter Drucker membandingkan Management by Objectives dengan Management by Drives (Manajemen berdasarkan dorongan). Contoh manajemen berdasarkan dorongan adalah tanggapan organisasi terhadap tekanan keuangan atau pasar yang baru dengan “dorongan penghematan” (economy drive) atau “dorongan produksi” (production drive). Dalam praktek manajemen berdasarkan dorongan ini menghasilkan suatu perbaikan yang hanya bersifat sementara. Sedangkan dalam MBO, perencanaan efektif tergantung sampai sejauh mana manajer menetapkan dengan jelas tujuan yang berlaku secara khusus bagi fungsinya di dalam perusahaan. Bagaimana tujuan ini dicapai merupakan hal yang sangat penting. Para manajer di sini harus menetapkan tujuan dan juga aktif terlibat dalam proses penetapan tujuan.
Hubungan antara tujuan individu dengan sasaran umum adalah sangat penting. Tujuan utama dari pelaksanaan MBO untuk mencapai pelaksanaan yang efektif dari keseluruhan organisasi melalui pelaksanaan yang efisien dan integrasi bagian-bagiannya.
Kekuatan MBO
Keuntungan-keuntungan utama dari program MBO dalam urutan pentingnya adalah sebagai berikut:
1. memberi kesempatan pada para individu untuk mengetahui apa yang diharapkan dari mereka
2. membantu dalam perencanaan dengan membuat para manajer menetapkan sasaran dan waktu yang ditargetkan
3. meningkatkan komunikasi antara para manajer dan bawahan
4. membuat para manajer lebih menyadari tentang sasaran organisasi
5. membuat proses manajemen lebih wajar dengan memusatkan pada suatu pencapaian. Program ini juga memberi kesempatan kepada para bawahan untuk mengetahui sebaik mana mereka bekerja dalam kaitannya dengan sasaran organisasi.
Kelemahan MBO
Beberapa kekurangan dari program MBO adalah:
1. MBO tidak menyelesaikan semua masalah organisasi.
2. Tidak semua prestasi dapat dikuantifikasikan atau diukur.
3. Perubahan-perubahan yang diinginkan oleh MBO dalam perilaku para manajer mungkin juga menimbulkan masalah.
4. Kelemahan yang melekat dalam proses MBO, dimana ini membutuhkan banyak waktu dan upaya dalam mempelajari penggunaan teknik MBO dengan tepat.
Membuat agar MBO efektif
1. Tunjukkan kesepakatan yang berkesinambungan dari pimpinan tingkat tinggi. Penerimaan pertama dari para pegawai untuk program MBO dapat berhasil jika pimpinan tertinggi melakukan usaha bersama untuk mempertahankan agar system itu tetap jalan dan berfungsi dengan sepenuhnya.
2. Didik dan latih para manajer. Agar MBO berhasil para manajer harus memahami MBO tersebut, sehingga mereka harus dididik mengenai prosedur dan keuntungan dari system MBO.
3. Rumuskan tujuan-tujuan dengan jelas. Para manajer dan bawahan harus sama-sama mengerti tujuan-tujuan dengan jelas dan merumuskannya bersama-sama
4. Laksanakan umpan balik secara efektif. Suatu sistem MBO tergantung pada para peserta yang mengetahui hubungannya dengan tujuan mereka. Penetapan tujuan bukan merupakan perangsang yang memadai, tinjauan terhadap prestasi yang teratur dan umpan balik dari hasil-hasil juga diperlukan.
5. Anjurkan adanya peran serta. Para manajer harus menyadari peran serta bawahan dalam penentapan sasaran dapat mengandung suatu pengalokasian kembali kekuasaan. Para manajer harus mau melepaskan pengendalian langsung tertentu atas bawahannya dan mendorong bawahannya untuk mengambil peranan lebih aktif dalam penetaan dan pencapaian tujuan mereka sendiri.

Paradigma dalam Ilmu Sosiologi

Meskipun masih terjadi banyak perdebatan dalam penggolongan paradigma dalam ilmu Sosiologi, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga paradigma (George Ritzer: 2004¬). Ketiga paradigma dimaksud adalah :

1. Paradigma Fakta Sosial. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma fakta sosial terdiri dari dua tipe, yaitu Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Teori yang tergabung adalah Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Tokoh aliran ini antara lain : Emile Durkheim, Talcot Parson, Robert K. Merton, Herbert Gans, Karl Mark, Ralp Dahrendorf dan lain-lain. Metode penelitian empiris yang digunakan cenderung ke arah metode kuesioner dan interviu. Variabel penelitian lebih ke arah Group.
2. Paradigma Definisi Sosial. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma definisi sosial adalah tentang Tindakan Sosial, yaitu tindakan individu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori yang tergabung adalah Teori Aksi, Interaksionisme Simbolik, dan Fenomenologi. Tokoh aliran ini antara lain : Weber, Herbert Blumer, Florian Znaniencki, Persons, Cooley, John Dewey, Robert Park, GH Mead, dan lain-lain. Metode penelitian empiris yang digunakan cenderung ke arah metode observasi, dengan tipe Participant Observation, Participant as Observer, Observer as Participant, dan Complete Observer. Variabel penelitian bisa Individual atau Group.
3. Paradigma Perilaku Sosial. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma perilaku sosial adalah hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Teori yang tergabung adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange. Tokoh aliran ini antara lain : BF Skinner dan George Homan. Metode penelitian empiris yang digunakan cenderung ke arah metode kuesioner, interviu dan observasi. Variabel penelitian lebih ke Individual.

Ragam Aliran Teori Sosiologi
Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990). Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003).
Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial.
Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat. Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz), Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme.
Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran.
PARADIGMA DI DALAM TEORI-TEORI ILMU SOSIAL

A. PARADIGMA FAKTA SOSIAL
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai ‘barang sesuatu’ (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata (eksternal). Fakta ini bersifat inter subjektif yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contoh egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter M.Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
1. Nilai-nilai umum ( common values )
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsur-unsurnya.
3. Teori Sistem, dan
4. Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.




B. PARADIGMA DEFINISI SOSIAL
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori di atas mempunyai kesamaan ide dasar, yaitu manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini, merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).


C. PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan:
•Pandangannya tentang emergence
•Pandangannya tentang psikologi
•Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.

Administrasi Pembangunan

Administrasi Pembangunan

Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di negara – negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga –lembaga dan pranata – pranata social, politik, dan ekonominya, agar pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu, pada dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari system administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Dari sudut praktik, administrasi pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu pengertian, yakni administrasi dan pembangunan. Oleh karena itu, untuk memahami administrasi pembangunan perlu dipelajari hakikat administrasi, yaitu administrasi negara atau administrasi publik, dan hakikat pembangunan. Dengan demikian kajian mengenai konsep administrasi pembangunan harus dimulai dengan teori – teori dalam ilmu administrasi, yaitu mengenai administrasi negara dan berbagai konsep pembangunan.

Untuk itu, yang pertama kaan dilakukan dalam buku ini adalah mengupas berbagai konsep pembangunan, yang mencerminkan pergeseran paradigma pembangunan menuju ke arah makin terpusatnya pembangunan pada aspek – aspek manusia dan nilai – nilai kemanusiaan. Perkembangan paradigma dalam pemikiran – pemikiran mengenai pembangunan itu, ternyata selain menunjukkan konvergensi dengan pemikiran yang berkembang dalam ilmu administrasi, juga makin mengarah pada manusia dan nilai – nilai kemanusiaan serta konsep – konsep pemerataan dan keadilan social. Administrasi pembangunan dengan demikian memiliki nilai – nilai yang dikandung dalam administrasdan pembangunan dengan paradigma yang sejalan, di mana peranan etika menjadi makin tampil sebagai aspek yang penting dalam kebijaksanaan – kebijaksanaan pembangunan yang menjadi ruang lingkup tanggung jawab administrasi pembangunan. Dalam telaah administrasi pembangunan dibedakan adanya dua pengertian, yaitu administrasi bagi pembangunan dan pembangunan administrasi itu sendiri. Untuk membahas administrasi bagi pembangunan, dalam konteks ini digunakan pendekatan manajemen. Karena itu, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa masalah administrasi bagi pembangunan adalah masalah manajemen pembangunan. Sedangkan untuk menerangkan pembangunan administrasi akan digunakan pendekatan organisasi. Manajemen pembangunan adalah manajemen publik dengan cirri – cirri yang khas, seperti juga administrasi publik (negara) dengan kekhasan tertentu. Studi mengenai manajemen telah banyak mengalami perkembangan, namun teori pokoknya tidak berubah. Sekurang – kurangnya ada tiga kegiatan besar yang dilakukan oleh amanjemen, yakni perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Kendati demikian, pengkajian mengenai fungsi – fungsi manajemen dapat dikembangkan secara bervariasi sesuai kebutuhan. Untuk analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi yang cukup nyata (distinct), yakni : perencanaan, pengerahan (mobilisasi) sumber daya, pengerahan pembangunan yang ditangani langsung oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan dan evaluasi dan pengawasan. Pendekatan terhadap fungsi – fungsi tersebut dilengkapi dengan peran informasi yang amat penting sebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen. Pendekatan terhadap kajian pembangunan atau pembaharuan administrasi dapat dilakukan dari sisi administrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus dari system administrasi negara sebagai unit analisis cenderung terkonsentrasi kepada birokrasi, baik sebagai institusi nasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya.

Birokrasi yang dimaksud disini adalah tingkatan nasional dari administrasi, yang memperlihatkan ciri ciri umum (overall) yang mempengaruhi pelayanan publik serta pengelolaan pembangunan social ekonomi di negara berkembang. Studi awal mengenai analisis administrasi dalam perkembangannya, kira – kira counterpart teori Rostow di bidang ekonomi, diberikan oleh Riggs (1964). Ia menggambarkan taraf – taraf perkembangan administrasi mulai dari tingkat terbelakang sampai yang paling maju, dengan teori yang dikenal sebagai the theory of prismatic society.

Dalam kerangka pembaharuan administrasi sebagai lanjutan dari pembangunan administrasi, yang pertama perlu menjadi perhatian adalah perubahan sikap birokrasi yang cukup mendasar sifatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsure. Pertama, birokrasi harus dapat membangun partisipasi rakyat. Kedua, birokrasi hendaknya tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya. Ketiga, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi
menjadi memberdayakan. Keempat, mengembangkan keterbukaan dan kebertanggungjawaban. Pembaharuan memerlukan semangat yang tidak mudah patah. Semangat dan tekad diperlukan untuk mengatasi inersia birokrasi dan tantangan yang datang dari kalangan mereka yang akan dirugikan karena perubahan. Oleh karena itu, pembaharuan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukung oleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen. Tidak selalu harus segera menghasilkan perubahan besr, tetapi dapat secara bertahap, namun konsisten.


Ada berbagai pengertian mengenai administrasi. Yang paling mendasar adalah pengertian dari Waldo, yang menyatakan bahwa administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antarmanusia. Waldo (1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antarmanusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya. Administrasi negara berkenaan dengan administrasi dalam lingkup negara, sering kali pula diartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya, administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapai merupakan konsep yang mendasar pula dalam administrasi negara.

Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang beralawanan dengan merusak. Oleh karena itu, perubahan ke arah keadaan yang lebih baik seperti yang diinginkan dan dengan upaya yang terencana, harus dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi justru mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. Pembangunan menjadi bahan kajian berbagai disiplin ilmu, terutama setelah Perang Dunia Kedua (PDII), denagn lahirnya banyak negara baru yang semula merupakan wilayah jajahan. Pembangunan telah menjadi bahan studi ilmu ekonomi, politik, sosial, dan administrasi, dan telah berkembang pula sebagai studi multidisiplin dengan pendekatan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pembangunan sering dikaitkan dengan modernisasi dan industrialisasi. Seperti dikatakan Gouled (1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan. Pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial, modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) dari pembangunan, dan industrialisasi adalah salah satu segi (a single facet) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa pembangunan lebih luas sifatnya dari pada modernisasi, dan modernisasi lebih luas dari pada industrialisasi.








Di antara pengkajian yang termasuk paling awal dan banyak menjadi rujukan para pakar administrasi pembangunan selanjutnya adalah konsep dari Riggs. Menurut Riggs (1966), pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Wallis (1989) mengartikan pembaharuan administrasi sebagai induced, permanent improvement in administration. Esman (1995) dalam sebuah analisis yang lebih mutakhir mengenai keadaan administrasi di negara berkembang menunjukkan, bahwa upaya memperbaiki kinerja birokrasi negara haruslah meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya, dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Dalam hal ini Rodinelli (1993) mengusulkan suatu pendekatan yang disebut adaptive administration. Ia menekankan pentingnya fleksibilitas dan inovasi dalam administrasi pembangunan, sebab kebijaksanaan – kebijaksanaan pembangunan sangat kompleks dan penuh ketidakpastian. Sementara itu, menjelang dasawarsa 90-an, system komunisme yang menerapkan dominasi negara secara sangat ekstrim, runtuh. Pengalaman empiris negara – negara industri baru juga menunjukkan bahwa strategi melepaskan dominasi negara atas ekonomi dan mengiktui prinsip – prinsip apsar dengan ekspor sebagai pacuan telah
membuahkan hasil seperti tercermin dalam tingkat pertumbuhan dan taraf kesejahteraan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena itu, berkembang arus deetatisme, yang dikenal dengan sebutan – sebutan deregulasi dan debirokratisasi.